Renungan di Pinggir Kolam
Oleh : Aufa Estias Az-Zahra
Aku
bangun. Sudah terang! Jam berapa ini, kenapa tidak ada yang membangunkanku!?
Aku
kesal. Semalam aku ketiduran di kamar dua, mengerjakan tugas hingga larut. Dan,
entah memang tidak ada yang membangunkanku, atau memang aku yang tidak dengar
saking ngantuknya? Lihatlah, matahari sudah Nampak. Aku belum shalat shubuh.
Aku
berdiri. Pergi meninggalkan kamar dua. Aku tahu, aku sudah lihat, matahari
sudah Nampak, sudah terang, tak gelap. Tapi, entah setan apa yang mendorongku
sehingga aku tersungkur kembali di kasur. Padahal aku tahu, aku ingat, kalau
aku belum shalat shubuh.
---
“Teh!
Bangun udah siang!” Itu suara adikku, Wafa yang juga satu kamar denganku di
pondok. “Teh! Udah siang, bangun! Hari ini upacara, nanti telat sekolah!”
Serunya kesal sambil menggelitikiku.
“Hmmm!
Bentar!” Aku malah marah. Padahal aku belum shalat shubuh.
Selanjutnya,
mungkin setan menutup telingaku. Aku tak dengar lagi suara Wafa atau
teman-teman yang lain membangunkanku. Atau mungkin mereka tak membangunkanku,
capek dan bosan karena aku yang tak kunjung bangkit dari tidur.
“Aufa!”
Seru seseorang dari luar kamar. Itu suara Milan. “Aufa!” Serunya.
Ternyata
ia sudah berada di sebelahku. Aku bangun. Duduk di sebelahnya. Milan menatapku
seolah berkata, “malas banget sih kamu.
Pagi-pagi tidur lagi!”. Tapi, itu hanya tebakanku saja. Aku nyengir
padanya. Ia tersenyum, senyum yang tak mudah ditebak.
“Semalam
tidur jam berapa?” Tanyanya kemudian.
“Gak
tau. Aku lupa, soalnya langsung ketiduran.”
“Mandi
gih! Ganti baju, siap-siap sekolah. Hari ini upacara lho…”
“Iya!”
Hanya itu jawabanku. Sebenarnya sedih juga. Aku langsung berfikir, betapa malasnya aku. Sudah siang begini,
belum mandi atau persiapan apapun untuk sekolah. Apalagi hari ini upacara.
“Iya
tuh Mil, si Aufa tuh susah banget dibangunin! Cepet mandi sana!” Fika, ikut
nyambung.
Aku
Cuma nyengir. Milan terdiam. Sambil tersenyum tipis sih…
“Aufa,
kamu gak berangkat sekolah?” Tanya Yanti.
Aku
geleng-geleng.
“Kenapa?
Kamu sakit po?”
Aku
mengangguk.
“Beneran?”
Tanyanya tak yakin. Wajar saja sih kalau ia tak percaya. Aku memang jarang
sakit selama di pondok.
“Beneran,
serius. Kamu bikin surat izin buat aku ya!” Milan hanya senyum tipis melihatku.
Yanti
pergi ke kamar sebelah. Entah dia percaya atau tidak, tapi sepertinya ia tidak
percaya. Hehe…
“Aufa,
Milan ke kelas dulu ya!”
“Iya.”
Aku tersenyum padanya. Mungkin Milan kesal padaku, mungkin juga tidak.
“Aufa,
kamu beneran gak berangkat?” Tanya Yanti sambil mematut dirinya di cermin.
“Ya
nggaklah! Aku berangkat kok! Tapi kayanya aku izin gak ikut upacara.” Jawabku.
“Aku izin gak ikut upacara ya?” Kuulangi pertanyaanku.
“Iya.”
Jawab Yanti.
Kukira
dia tidak akan membolehkanku izin upacara, ternyata dia mengiyakan. Mungkin dia
fikir aku sakit benaran ya? Hehe…
---
Kamar
sudah sepi. Hanya tersisa aku yang tertidur didepan lemari. Tidak tidur, hanya
tiduran. Fikiranku kacau, tak karuan. Yang lain sedang upacara, aku hanya
tiduran disini. Aku merenung. Seharusnya aku tidak begini. Aku sudah kelas tiga
dan bahkan anak pesantren pula. Aku seharusnya menjadi contoh yang baik bagi
adik kelas. Tidak malas-malasan seperti ini. Aku jadi ingat pesan Bunda, yakni
Budeku sendiri…
“ Bude dapat laporan, kalau kelas
tiga ini Aufa jadi malas.”
Pagi itu, aku dipanggil Bunda ke
rumahnya.
“Masa mau malas-malasan terus.
Nilai-nilai Aufa kemarin juga pada turun. Aufa udah kelas tiga lho… Apalagi ada
Wafa sama Hudzaifa.” Wafa dan Hudzaifa adalah adikku, mereka mondok disini.
“Emang Aufa gak malu? Harusnya, Aufa sebagai anak pertama, sebagai seorang
kakak tertua, bisa menjadi contoh yang baik buat adik-adiknya. Emang Aufa gak
malu kemarin si Wafa dapet juara di kelasnya. Eh… Aufa nya malah dapet nila
jelek. Katanya mau kuliah, dapat beasiswa. Lha, kalau Aufa malas-malasan begini
mah gimana mau dapat beasiswanya?” …
“Hufth…”
Aku menghela nafas dan bangkit duduk. Diam, aku berfikir sejenak, Apa yang harus aku lakukan sekarang?.
Aku ingin berubah, aku ingin menjadi diriku yang lebih baik, aku tidak mau
kalah dari adik-adikku, aku ingin membanggakan Ummi dan Abi, aku ingin
membanggakan Ustadz dan Bunda, yang juga adalah Pa’de dan Budeku. Pokoknya, aku
harus berubah!
Dan
yang harus kulakukan sekarang adalah, mandi. Setelah itu…
Haha…
Astaghfirullah…! Aku baru ingat kalau tadi, aku belum shalat shubuh. Kalau
begitu, setelah mandi aku akan shalat shubuh dibarengkan dengan shalat dhuha.
Dulu aku pernah lupa shalat shubuh, Ummi menyuruhku membarengkan atau
meng-qodho shalat shubuh dengan shalat dhuha. Tapi shalat shubuh dulu yang
diutamakan.
Aku
bersiap pergi mandi. Semangat! Aku harus bisa berubah menjadi lebih baik.
***
“Aufa!”
Sapa Yanti di depan kelas ketika aku berangkat sekolah.
“Iya!”
Balasku sambil melambaikan tangan.
“Katanya
mau izin…” Godanya.
“Yeee…
kan aku bilang, aku izin gak ikut upacara aja.”
“Oh…
udah mandi?” tanyanya.
“Udahlah…
makanya tadi aku izin gak ikut upacara.”
“Oh…”
Aku
masuk kelas, menyimpan bukuku dan keluar lagi. Aku malas berlama-lama di kelas,
apalagi belum ada guru. Kelas seolah dikuasai anak putra.
Aku
keluar, ingin menemui Milan. Kebetulan sekali, Milan baru saja hendak melintasi
lapangan menuju kelas, “Milan!” Panggilku. Aku berlari menghampiri Milan.
Milan
tersenyum melihatku, “udah mandi?” Tanyanya.
“Udah.
Milan mau ke kelas?” Aku dan Milan beda kelas. Milan kelas A, aku kelas B.
“Iya,
Aufa mau ngomong apa?” Tanyanya.
“Nggak,
Cuma Tanya aja, sana ke kelas! Hehe…” Tiba-tiba saja aku tidak berani bicara
pada Milan. Aku malu pada Milan. Milan anak yang rajin. Beda denganku yang
pemalas. Apalagi setelah tadi Milan melihatku tidur setelah shubuh, sampai
matahari terlihat. Tidak ikut upacara pula. Aku takut dia kecewa padaku.
“Yeee…
dasar! Milan masuk dulu ya, udah ada guru.” Pamit Milan.
“Iya.”
Tinggallah
aku sendiri di tengah lapangan. Aku kembali ke kelas. Baru saja hendak duduk,
Lintang, teman kelasku yang tidak ikut mondok dan hanya ikut sekolah saja
disini (maksudnya anak luar). Ia menyetel lagu dangdut di HP-nya. Aduh! Padahal
aku niat ingin merenung, dasar Lintang!
Aku
keluar, berpindah ke pinggir kolam ikan yang kini berwarna hijau, di samping kelas. Aku
membawa buku dan pulpen. Entah aku mau menulis apa, akhirnya aku hanya
memainkan pulpen, merenung, soal kejadian pagi tadi.
Aku
sudah berpengalaman mondok tiga tahun sebelum ini, ketika MTs. Dan seingatku,
aku tidak semalas ini. Memang aku agak malas juga waktu itu. Tapi tak separah
ini. Masa, tadi pagi aku baru shalat shubuh jam tujuh lebih dibarengi shalat
dhuha. Seingatku juga, aku tidak seperti ini ketika kelas satu SMK dulu. Dulu,
aku bisa masuk kategori siswa terrajin di pondokku. Aku sering berangkat
sekolah pagi sekali sampai temanku heran. Mereka sering bilang, “Pagi-pagi udah mau berangkat?”. Atau, “Aufa, masih pagi, kamu mau berangkat?” dan
banyak pertanyaan lain lagi. Aku tidak pernah tidur di kelas. Selalu
memperhatikan guru. Bukan hanya soal sekolah saja. Aku, insya Allah soal ibadah
tak semalas sekarang. Bahkan bisa dibilang rajin. Lumayan sih… maksudnya, kalau
sudah waktunya shalat, maka aku bergegas shalat, tidak menunda. Bahkan aku
sempat mengikuti puasa daud bersama temanku meski hanya berjalan selama sebulan
atau dua bulan. Semua peraturan pondok, aku taati. Memang sekarang juga aku
tetap menaati, tapi terkadang satu-dua kulalaikan.
Pondokku
memang tidak terlalu ketat seperti beberapa pondok lain. Jadwalnya pun tak
sepadat pondok lain. Pagi-pagi, kami shalat shubuh. Selesai shalat, kajian
shubuh bersama Ustadz, mandi, sarapan, siap-siap berangkat sekolah. Di sekolah
kami belajar sampai pukul setengah dua siang. Kegiatan pondok berlanjut setelah
shalat maghrib. Khusus putri ada kultum bergilir setiap habis shalat maghrib.
Setelah itu, sambil menunggu adzan isya, kami memanfaatkan waktu untuk tadarus,
atau kebanyakan anak menggunakannya untuk hafalan. Karena kami harus
menyetorkan hafalan kami sebanyak lima belas ayat setiap minggunya. Dan itu
terbilang mudah bagiku yang sudah pernah mondok di pondok yang terbilang ketat
peraturannya dan jadwalnya padat. Selesai shalat isya, kami diwajibkan menulis
kultum bergilir putra. Selanjutnya, seharusnya ada jadwal belajar bersama. Tapi
jarang sekali berjalan.
Masalahnya.
Aku pernah bertekad mempunyai target hafalan sebanyak lima belas juz lulus SMK
nanti. Tapi sampai kelas tiga ini, hafalanku belum sampai setengahnya. Kalau
difikir-fikir, dengan jadwal kegiatan pondok yang tidak padat, seharusnya
target hafalanku sudah selesai. Bahkan seharusnya sudah bisa melebihi target.
Nyatanya, makin kesini, rasanya aku makin menjadi akhwat yang malas saja.
Hafalan
jarang, setor seminggu sekali yang minimal lima belas ayat pun, seharusnya aku
sanggup, tapi malah kulalaikan. Sering masbuk dan alfa shalat di masjid, jarang
puasa, sering telat sekolah, tidur di kelas, sering pula mendapat hukuman.
Oh!
Aku jadi ingat. Aku punya hutang hukuman polybag pada Bunda. Ustadz dan Bunda
sering memberi hukuman yang menurut mereka mendidik, bermanfaat dan beda dari
yang lain. Dan aku, selama aku tinggal di pondok sudah berhutang sebanyak tujuh
puluh tiga polybag. Polybag itu baru terhitung selesai atau lunas apabila sudah
panen. Sebenarnya tidak harus memakai polybag, yang penting bercocok tanam. Dan,
masalahnya lagi, aku belum melunasi satupun hukuman polybag itu, padahal sudah
kelas tiga.
Belum
lagi aku harus mengurusi persyaratan-persyaratan kelulusan yang diberikan
pondok. Seperti menyetorkan hafalan sebanyak tiga juz, setor tafsir Qur’an dan
tafsir Hadits, do’a sehari-hari, praktek shalat dan bacaan shalat serta
artinya, juga praktek mengajar kajian anak-anak kelas satu SMK dan MTs selama
lima kali pertemuan tiap anak.
Haduh…
rasanya terbebani sekali. Terbebani karena salahku sendiri, yang tidak
memanfaatkan waktu dengan baik. Lihat saja, sekarang pun aku malah melamun tak
jelas di pinggir kolam, terlalu menyesali sikapku yang telah berubah. Padahal
terlalu menyesal itu tidak baik. Lebih baik melupakan yang sudah berlalu dan
bangkit membuat kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya. Hal-hal yang buruk,
jangan diulangi dan dijadikan pelajaran buat kedepannya. Yang baik,
dipertahankan bahkan ditingkatkan.
Today live like you wanna
Let yesterday burn and throw it
in a fire, in a fire, in a fire
Fight like a warrior
Live like a warrior
Haha!
Aku jadi ingat lagu itu. judulnya “Live
Like A Warrior”
Hari ini hidup seperti yang kau mau.
Hari ini aku ingin berubah menjadi lebih baik.
Biarkan hari kemarin terbakar dan
lemparkan ke api. Kalau begitu, aku akan melupakan sifat
burukku yang telah berlalu dan berubah menjadi lebih baik. Biarkan sifat
burukku itu kujadikan pelajaran kedepannya, bahwa menjadi buruk itu tidak enak,
tidak disayang Allah, nggak disukai orang juga dan nggak keren.
Berjuang seperti pejuang, hidup
seperti pejuang. OK! Semangat Aufa!
Sore
nanti, habis ashar aku akan mulai mengerjakan hukuman polybagku. Kebetulan hari
ini Bu Kani (Bu kantin) memasak kangkung. Aku mau minta bibit sisanya. Kemarin,
Yanti janji akan membantuku mengerjakan hukuman polybag bersebelahan dengan
miliknya.
Sebenarnya,
kemarin aku dan Iva teman sekamarku sempat mengerjakan bersama-sama, tapi macet
di tengah jalan karena kami berdua yang sama malasnya. Biarlah… yang lalu ya
sudah berlalu. Nanti sore aku akan mengajak Iva mengerjakan bersama lagi dan
dengan bantuan Yanti.
Mulai
sekarang juga, aku akan menyicil persyaratan kelulusan dari pondok. Aku akan
membuat target kapan aku harus menyelesaikan seluruh persyaratan-persyaratan
itu. Aku juga akan berusaha menyelesaikan target hafalanku yang lima belas juz
sebelum aku lulus, insya Allah.
Aku
benar-benar ingin berubah. Tak enak kalau harus menjadi buruk terus. Aku pernah
bercerita pada Susan, temanku bahwa aku ingin berubah. Dia mendukungku dan
menyemangati. Bahkan banyak teman yang mendukungku. Mereka bersemangat
mendukungku, kenapa aku malah malas? Maka dari itu, mulai saat ini aku ingin
memulai hidup baruku dengan menjadi lebih baik. Mulai dari hal yang kecil dulu.
Sedikit demi sedikit. Karena aku tahu, berubah tidaklah mudah. Membutuhkan
proses. Jadi…
Mari
kita berubah!
“Aufa!
Kamu ngapain disitu!?” Seru seseorang.
“Eh!”
Aku terperanjat. Tenyata aku benar-benar melamun ya…? Hehe… masih di pinggir kolam
pula.
“Kamu
kenapa?” Tanya Milan, ia merangkul pundakku. “Tadi Aufa mau ngomong apa?”
Tanyanya lagi.
“Nggak
kok! Hehe…” Aku nyengir. Kemudian, “Milan, bantu aku ya! Bantu aku supaya bisa
berubah.”
Milan
tersenyum. “Ayo kita berubah sama-sama, Aufa. Semangat!” Seru Milan. Ia
mengepalkan tinjunya ke depan mukaku.
Aku
senang mendengarnya. Aku membalas tinju Milan. Aku senang. Aku tambah semangat.
Hihi…
Bismillah…!
Dengan menyebut namamu ya Allah… aku ingin berubah!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar