Senin, 05 November 2018

Cerpen Santri

Renungan di Pinggir Kolam
Oleh : Aufa Estias Az-Zahra
Aku bangun. Sudah terang! Jam berapa ini, kenapa tidak ada yang membangunkanku!?
Aku kesal. Semalam aku ketiduran di kamar dua, mengerjakan tugas hingga larut. Dan, entah memang tidak ada yang membangunkanku, atau memang aku yang tidak dengar saking ngantuknya? Lihatlah, matahari sudah Nampak. Aku belum shalat shubuh.
Aku berdiri. Pergi meninggalkan kamar dua. Aku tahu, aku sudah lihat, matahari sudah Nampak, sudah terang, tak gelap. Tapi, entah setan apa yang mendorongku sehingga aku tersungkur kembali di kasur. Padahal aku tahu, aku ingat, kalau aku belum shalat shubuh.
---
“Teh! Bangun udah siang!” Itu suara adikku, Wafa yang juga satu kamar denganku di pondok. “Teh! Udah siang, bangun! Hari ini upacara, nanti telat sekolah!” Serunya kesal sambil menggelitikiku.
“Hmmm! Bentar!” Aku malah marah. Padahal aku belum shalat shubuh.
Selanjutnya, mungkin setan menutup telingaku. Aku tak dengar lagi suara Wafa atau teman-teman yang lain membangunkanku. Atau mungkin mereka tak membangunkanku, capek dan bosan karena aku yang tak kunjung bangkit dari tidur.
“Aufa!” Seru seseorang dari luar kamar. Itu suara Milan. “Aufa!” Serunya.
Ternyata ia sudah berada di sebelahku. Aku bangun. Duduk di sebelahnya. Milan menatapku seolah berkata, “malas banget sih kamu. Pagi-pagi tidur lagi!”. Tapi, itu hanya tebakanku saja. Aku nyengir padanya. Ia tersenyum, senyum yang tak mudah ditebak.
“Semalam tidur jam berapa?” Tanyanya kemudian.
“Gak tau. Aku lupa, soalnya langsung ketiduran.”
“Mandi gih! Ganti baju, siap-siap sekolah. Hari ini upacara lho…”
“Iya!” Hanya itu jawabanku. Sebenarnya sedih juga. Aku langsung berfikir, betapa malasnya aku. Sudah siang begini, belum mandi atau persiapan apapun untuk sekolah. Apalagi hari ini upacara.
“Iya tuh Mil, si Aufa tuh susah banget dibangunin! Cepet mandi sana!” Fika, ikut nyambung.
Aku Cuma nyengir. Milan terdiam. Sambil tersenyum tipis sih…
“Aufa, kamu gak berangkat sekolah?” Tanya Yanti.
Aku geleng-geleng.
“Kenapa? Kamu sakit po?”
Aku mengangguk.
“Beneran?” Tanyanya tak yakin. Wajar saja sih kalau ia tak percaya. Aku memang jarang sakit selama di pondok.
“Beneran, serius. Kamu bikin surat izin buat aku ya!” Milan hanya senyum tipis melihatku.
Yanti pergi ke kamar sebelah. Entah dia percaya atau tidak, tapi sepertinya ia tidak percaya. Hehe…
“Aufa, Milan ke kelas dulu ya!”
“Iya.” Aku tersenyum padanya. Mungkin Milan kesal padaku, mungkin juga tidak.
“Aufa, kamu beneran gak berangkat?” Tanya Yanti sambil mematut dirinya di cermin.
“Ya nggaklah! Aku berangkat kok! Tapi kayanya aku izin gak ikut upacara.” Jawabku. “Aku izin gak ikut upacara ya?” Kuulangi pertanyaanku.
“Iya.” Jawab Yanti.
Kukira dia tidak akan membolehkanku izin upacara, ternyata dia mengiyakan. Mungkin dia fikir aku sakit benaran ya? Hehe…
---
Kamar sudah sepi. Hanya tersisa aku yang tertidur didepan lemari. Tidak tidur, hanya tiduran. Fikiranku kacau, tak karuan. Yang lain sedang upacara, aku hanya tiduran disini. Aku merenung. Seharusnya aku tidak begini. Aku sudah kelas tiga dan bahkan anak pesantren pula. Aku seharusnya menjadi contoh yang baik bagi adik kelas. Tidak malas-malasan seperti ini. Aku jadi ingat pesan Bunda, yakni Budeku sendiri…
“ Bude dapat laporan, kalau kelas tiga ini Aufa jadi malas.”
Pagi itu, aku dipanggil Bunda ke rumahnya.
“Masa mau malas-malasan terus. Nilai-nilai Aufa kemarin juga pada turun. Aufa udah kelas tiga lho… Apalagi ada Wafa sama Hudzaifa.” Wafa dan Hudzaifa adalah adikku, mereka mondok disini. “Emang Aufa gak malu? Harusnya, Aufa sebagai anak pertama, sebagai seorang kakak tertua, bisa menjadi contoh yang baik buat adik-adiknya. Emang Aufa gak malu kemarin si Wafa dapet juara di kelasnya. Eh… Aufa nya malah dapet nila jelek. Katanya mau kuliah, dapat beasiswa. Lha, kalau Aufa malas-malasan begini mah gimana mau dapat beasiswanya?” …
“Hufth…” Aku menghela nafas dan bangkit duduk. Diam, aku berfikir sejenak, Apa yang harus aku lakukan sekarang?. Aku ingin berubah, aku ingin menjadi diriku yang lebih baik, aku tidak mau kalah dari adik-adikku, aku ingin membanggakan Ummi dan Abi, aku ingin membanggakan Ustadz dan Bunda, yang juga adalah Pa’de dan Budeku. Pokoknya, aku harus berubah!
Dan yang harus kulakukan sekarang adalah, mandi. Setelah itu…
Haha… Astaghfirullah…! Aku baru ingat kalau tadi, aku belum shalat shubuh. Kalau begitu, setelah mandi aku akan shalat shubuh dibarengkan dengan shalat dhuha. Dulu aku pernah lupa shalat shubuh, Ummi menyuruhku membarengkan atau meng-qodho shalat shubuh dengan shalat dhuha. Tapi shalat shubuh dulu yang diutamakan.
Aku bersiap pergi mandi. Semangat! Aku harus bisa berubah menjadi lebih baik.
***
“Aufa!” Sapa Yanti di depan kelas ketika aku berangkat sekolah.
“Iya!” Balasku sambil melambaikan tangan.
“Katanya mau izin…” Godanya.
“Yeee… kan aku bilang, aku izin gak ikut upacara aja.”
“Oh… udah mandi?” tanyanya.
“Udahlah… makanya tadi aku izin gak ikut upacara.”
“Oh…”
Aku masuk kelas, menyimpan bukuku dan keluar lagi. Aku malas berlama-lama di kelas, apalagi belum ada guru. Kelas seolah dikuasai anak putra.
Aku keluar, ingin menemui Milan. Kebetulan sekali, Milan baru saja hendak melintasi lapangan menuju kelas, “Milan!” Panggilku. Aku berlari menghampiri Milan.
Milan tersenyum melihatku, “udah mandi?” Tanyanya.
“Udah. Milan mau ke kelas?” Aku dan Milan beda kelas. Milan kelas A, aku kelas B.
“Iya, Aufa mau ngomong apa?” Tanyanya.
“Nggak, Cuma Tanya aja, sana ke kelas! Hehe…” Tiba-tiba saja aku tidak berani bicara pada Milan. Aku malu pada Milan. Milan anak yang rajin. Beda denganku yang pemalas. Apalagi setelah tadi Milan melihatku tidur setelah shubuh, sampai matahari terlihat. Tidak ikut upacara pula. Aku takut dia kecewa padaku.
“Yeee… dasar! Milan masuk dulu ya, udah ada guru.” Pamit Milan.
“Iya.”
Tinggallah aku sendiri di tengah lapangan. Aku kembali ke kelas. Baru saja hendak duduk, Lintang, teman kelasku yang tidak ikut mondok dan hanya ikut sekolah saja disini (maksudnya anak luar). Ia menyetel lagu dangdut di HP-nya. Aduh! Padahal aku niat ingin merenung, dasar Lintang!
Aku keluar, berpindah ke pinggir kolam ikan yang kini berwarna hijau, di samping kelas. Aku membawa buku dan pulpen. Entah aku mau menulis apa, akhirnya aku hanya memainkan pulpen, merenung, soal kejadian pagi tadi.
Aku sudah berpengalaman mondok tiga tahun sebelum ini, ketika MTs. Dan seingatku, aku tidak semalas ini. Memang aku agak malas juga waktu itu. Tapi tak separah ini. Masa, tadi pagi aku baru shalat shubuh jam tujuh lebih dibarengi shalat dhuha. Seingatku juga, aku tidak seperti ini ketika kelas satu SMK dulu. Dulu, aku bisa masuk kategori siswa terrajin di pondokku. Aku sering berangkat sekolah pagi sekali sampai temanku heran. Mereka sering bilang, “Pagi-pagi udah mau berangkat?”. Atau, “Aufa, masih pagi, kamu mau berangkat?” dan banyak pertanyaan lain lagi. Aku tidak pernah tidur di kelas. Selalu memperhatikan guru. Bukan hanya soal sekolah saja. Aku, insya Allah soal ibadah tak semalas sekarang. Bahkan bisa dibilang rajin. Lumayan sih… maksudnya, kalau sudah waktunya shalat, maka aku bergegas shalat, tidak menunda. Bahkan aku sempat mengikuti puasa daud bersama temanku meski hanya berjalan selama sebulan atau dua bulan. Semua peraturan pondok, aku taati. Memang sekarang juga aku tetap menaati, tapi terkadang satu-dua kulalaikan.
Pondokku memang tidak terlalu ketat seperti beberapa pondok lain. Jadwalnya pun tak sepadat pondok lain. Pagi-pagi, kami shalat shubuh. Selesai shalat, kajian shubuh bersama Ustadz, mandi, sarapan, siap-siap berangkat sekolah. Di sekolah kami belajar sampai pukul setengah dua siang. Kegiatan pondok berlanjut setelah shalat maghrib. Khusus putri ada kultum bergilir setiap habis shalat maghrib. Setelah itu, sambil menunggu adzan isya, kami memanfaatkan waktu untuk tadarus, atau kebanyakan anak menggunakannya untuk hafalan. Karena kami harus menyetorkan hafalan kami sebanyak lima belas ayat setiap minggunya. Dan itu terbilang mudah bagiku yang sudah pernah mondok di pondok yang terbilang ketat peraturannya dan jadwalnya padat. Selesai shalat isya, kami diwajibkan menulis kultum bergilir putra. Selanjutnya, seharusnya ada jadwal belajar bersama. Tapi jarang sekali berjalan.
Masalahnya. Aku pernah bertekad mempunyai target hafalan sebanyak lima belas juz lulus SMK nanti. Tapi sampai kelas tiga ini, hafalanku belum sampai setengahnya. Kalau difikir-fikir, dengan jadwal kegiatan pondok yang tidak padat, seharusnya target hafalanku sudah selesai. Bahkan seharusnya sudah bisa melebihi target. Nyatanya, makin kesini, rasanya aku makin menjadi akhwat yang malas saja.
Hafalan jarang, setor seminggu sekali yang minimal lima belas ayat pun, seharusnya aku sanggup, tapi malah kulalaikan. Sering masbuk dan alfa shalat di masjid, jarang puasa, sering telat sekolah, tidur di kelas, sering pula mendapat hukuman.
Oh! Aku jadi ingat. Aku punya hutang hukuman polybag pada Bunda. Ustadz dan Bunda sering memberi hukuman yang menurut mereka mendidik, bermanfaat dan beda dari yang lain. Dan aku, selama aku tinggal di pondok sudah berhutang sebanyak tujuh puluh tiga polybag. Polybag itu baru terhitung selesai atau lunas apabila sudah panen. Sebenarnya tidak harus memakai polybag, yang penting bercocok tanam. Dan, masalahnya lagi, aku belum melunasi satupun hukuman polybag itu, padahal sudah kelas tiga.
Belum lagi aku harus mengurusi persyaratan-persyaratan kelulusan yang diberikan pondok. Seperti menyetorkan hafalan sebanyak tiga juz, setor tafsir Qur’an dan tafsir Hadits, do’a sehari-hari, praktek shalat dan bacaan shalat serta artinya, juga praktek mengajar kajian anak-anak kelas satu SMK dan MTs selama lima kali pertemuan tiap anak.
Haduh… rasanya terbebani sekali. Terbebani karena salahku sendiri, yang tidak memanfaatkan waktu dengan baik. Lihat saja, sekarang pun aku malah melamun tak jelas di pinggir kolam, terlalu menyesali sikapku yang telah berubah. Padahal terlalu menyesal itu tidak baik. Lebih baik melupakan yang sudah berlalu dan bangkit membuat kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya. Hal-hal yang buruk, jangan diulangi dan dijadikan pelajaran buat kedepannya. Yang baik, dipertahankan bahkan ditingkatkan.
Today live like you wanna
Let yesterday burn and throw it
in a fire, in a fire, in a fire
Fight like a warrior
Live like a warrior
Haha! Aku jadi ingat lagu itu. judulnya “Live Like A Warrior”
Hari ini hidup seperti yang kau mau. Hari ini aku ingin berubah menjadi lebih baik.
Biarkan hari kemarin terbakar dan lemparkan ke api. Kalau begitu, aku akan melupakan sifat burukku yang telah berlalu dan berubah menjadi lebih baik. Biarkan sifat burukku itu kujadikan pelajaran kedepannya, bahwa menjadi buruk itu tidak enak, tidak disayang Allah, nggak disukai orang juga dan nggak keren.
Berjuang seperti pejuang, hidup seperti pejuang. OK! Semangat Aufa!
Sore nanti, habis ashar aku akan mulai mengerjakan hukuman polybagku. Kebetulan hari ini Bu Kani (Bu kantin) memasak kangkung. Aku mau minta bibit sisanya. Kemarin, Yanti janji akan membantuku mengerjakan hukuman polybag bersebelahan dengan miliknya. 
Sebenarnya, kemarin aku dan Iva teman sekamarku sempat mengerjakan bersama-sama, tapi macet di tengah jalan karena kami berdua yang sama malasnya. Biarlah… yang lalu ya sudah berlalu. Nanti sore aku akan mengajak Iva mengerjakan bersama lagi dan dengan bantuan Yanti.
Mulai sekarang juga, aku akan menyicil persyaratan kelulusan dari pondok. Aku akan membuat target kapan aku harus menyelesaikan seluruh persyaratan-persyaratan itu. Aku juga akan berusaha menyelesaikan target hafalanku yang lima belas juz sebelum aku lulus, insya Allah.
Aku benar-benar ingin berubah. Tak enak kalau harus menjadi buruk terus. Aku pernah bercerita pada Susan, temanku bahwa aku ingin berubah. Dia mendukungku dan menyemangati. Bahkan banyak teman yang mendukungku. Mereka bersemangat mendukungku, kenapa aku malah malas? Maka dari itu, mulai saat ini aku ingin memulai hidup baruku dengan menjadi lebih baik. Mulai dari hal yang kecil dulu. Sedikit demi sedikit. Karena aku tahu, berubah tidaklah mudah. Membutuhkan proses. Jadi…
Mari kita berubah!
“Aufa! Kamu ngapain disitu!?” Seru seseorang.
“Eh!” Aku terperanjat. Tenyata aku benar-benar melamun ya…? Hehe… masih di pinggir kolam pula.
“Kamu kenapa?” Tanya Milan, ia merangkul pundakku. “Tadi Aufa mau ngomong apa?” Tanyanya lagi.
“Nggak kok! Hehe…” Aku nyengir. Kemudian, “Milan, bantu aku ya! Bantu aku supaya bisa berubah.”
Milan tersenyum. “Ayo kita berubah sama-sama, Aufa. Semangat!” Seru Milan. Ia mengepalkan tinjunya ke depan mukaku.
Aku senang mendengarnya. Aku membalas tinju Milan. Aku senang. Aku tambah semangat. Hihi…
Bismillah…! Dengan menyebut namamu ya Allah… aku ingin berubah!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar